Dra AMINI FARIDA,M.Pd adalah kepala SMP Negeri 10 Kota Madiun, lahir di sebuah desa di kabupaten Ponorogo, 57 tahun yang lalu.Usia senja tak menyurutkan untuk melangkah maju bergabung dunia literasi negeri ini.Sebelumnya ia bertugas selama 4 tahun sebagai kepala SMP Negeri 8 Kota Madiun.Sebelum menjadi kepala sekolah,ia mengajar puluhan tahun di beberapa sekolah di Kota Mdiun sebagai akibat salah satunya kebijakan harus 24 jam mengajar.
Hal itu menjadikan banyak belajar di banyak sekolah,banyak teman dan banyak mendapat pengalaman yang bermanfaat sebagai bahan menulis.Dengan harapan tulisan ini mampu menginspirasi pembaca demi meningkatkan kualitas diri.
PERJUANGAN LEK YEM
Namaku Sakinah, konon kata lek Yem, tanteku mengatakan bahwa pemberian namaku ini, tidak asal memberi nama, tetapi mengandung doa dan harapan orang tua menjadi anak yang tenang. Itu kebiasaan warga kampung suku Jawa yang dilakukan setelah pupak puser(lepas tali pusar), melalui acara ritual, selamatan tumpeng kecil berhiaskan sate lombok bawang, serta bubur merah putih. Gending-gending Jawa ikut menyemarakkan dengan para penari jaranan yang cantik diiringi gamelan dan teriakan para pengrawit. Acara disusul tampilan musik terbangan, ditutup doa bersama dipimpin oleh kyai kondang. Heboh ya…
Mulailah lek Yem tersayang, pahlawan keluarga kami, kini di usianya yang senja, masih bisa bahagia apalagi jika ada yang menemani di sampingnya. Satu persatu telah telah dipanggil Tuhan. Lek Yem menyadari kematian yang datang kapan saja, semua urusan dunia dipasrahkan anak-anaknya. Dalam menunggu ajal, beliau masih bisa menikmati tayangan video lantunan doa, mendengarkan pengajian kyai-kyai kondang, serta masih bisa membagi sedekah kepada lingkungan. Senyum ompong masih kelihatan menawan bagi yang mengapresiasi.
Keberhasilanku salah satunya karena jasa lek Yem, banyak anak saudara, anak tetangga yang diambil dari kampung untuk dididik. Karenanyalah kini semua berhasil bangkit dari kebodohan bahkan kemiskinan. Perekonomian cukup baik ditandai rumah megah, usaha lancar, anak-anakku pun telah mengukir prestasinya masing-masing. Malam ini aku ijin suami untuk menemaninya, sudah beberapa waktu aku tak hadir. Lek Yem pengganti kangen pada emak, kangen cerita kampung juga kangen dongengnya yang sarat nasehat.
Masa kecil yang kuingat adalah setiap kali lek Yem datang, pasti membawa oleh-oleh yang sangat banyak. Semuanya mendapatkan minimal satu stel baju, aneka roti dari yang kecil hingga yang besar. Puding, ice cream dan buah-buahan memenuhi meja makan kami, padahal biasanya tak lebih dari sambal bawang dan krupuk saja penghuni meja makan itu. Mulailah beliau mendongeng gado-gado masa lalunya.
Lek Yem, perempuan hebat itu adalah, adiknya emak, anak jaman now menyebutnya tante. Lekku ini jebolan pembantu rumah tangga seorang dokter, berharap dapat memperoleh banyak ilmu dan pengalaman tanpa sekolah tanpa biaya, malah dapat upah. Baginya dimanapun itu adalah belajar tak harus di bangku sekolah, dimanapun, dan kapanpun, apalagi ikut keluarga dokter Ari, dokter spesialis anak yang laris manis. Dokter spesialis ramah dan pasti kaya, kebayang semuanya tercukupi,terpelajar,mengajarkan gizi, makanan sehat hingga ilmu kehidupan. Komplit, heran anak sekarang, banyak yang tidak mau belajar, maunya main HP, dandan ala artis, menganggap menjadi pembantu rumah tangga itu pekerjaan rendahan.
“Nduk, sempatkan pulang kampung, sampaikan pada pertemuan PKK atau pengajian, semua harus mau bekerja sambil belajar. Seharusnya mereka menyadari memang tidak sekolah, memang tidak bisa apa-apa, ya biasalah rendahan dahulu, sedikit demi sedikit ketika ikut orang yang baik dan sukses, punya ilmu punya ketrampilan, pastilah derajad akan naik dengan sendirinya”.
“Iya Lek”, jawabku lirih.
Seperti halnya Lek Yem, beberapa tahun bekerja di rumah bu dokter, lek Yem makin pinter, semua pekerjaan bisa dilakukan mulai memasak sayur, membuat roti, aneka minuman hingga merawat balita serta mendidiknya dengan cara yang baik. Ia merasa bersyukur, bayaran cukup, masih ada bonus setiap akhir pekan. Dengan mengasuh anak bu dokter, kemanapun si kecil diajak, pastilah lek Yem bagian menjaganya. Jalan-jalan ke mall, berkunjung ke famili berbagai kota, bahkan setiap acara ulang tahun anak-anaknya diajari berbagi dengan mengunjungi panti asuhan.
Seumur-umur tak kan mungkin dapat terjadi jika lek Yem tinggal di kampung, demikian juga aku, makanya ketika diajak lek Yem, emak pun memaksa harus berangkat. Saat itu di kampungku, belum ada listrik, sehingga mengambil air masih menggunakan senggot, alat untuk menimba air sumur, pekerjaan memakan waktu. Selepas adzan isya’ berkumandang, suasana kampung sudah sepi, semuanya tidur dengan lelapnya. Karena itu tanpa mengubah diri, kehidupan tetap akan pasif. Biasa tidak sekolah, biasa ngrumpi, biasa meminta-minta, biasa miskin, biasa malas dan lain-lain kebiasaan buruk lainnya.
Kondisi kampung seperti itu jangankan ke restoran atau mall, untuk makan sehari-hari saja harus mencari dahulu, tanaman apa yang bisa dikonsumsi hari itu. Singkong, garut dan ganyong adalah menu sajian setiap hari, dikukus dengan obor kayu, berbau sangit, jika sudah matang langsung habis, karena banyaknya anak. Itulah tekad lek Yem keluar dari zona nyaman dengan belajar bu dokter. Restoran lek Yem menyulap khas kampung menjadi sajian enak dan sehat yang digemari pelanggan. Emping garut, kripik ketela, gethuk pelangi, dan bahan baku ganyong bisa diolah menjadi perkedel, donat, dodol,dan dawet.
Demikian halnya ke panti asuhan, dahulu hanya menggantungkan dana donasi dari masyarakat, tentu serba terbatas, wajar terlihat kumuh. Sejak lek Yem menjadi pengurus, tampilan panti menjadi keren, saluran air yang semula berdiameter 15 cm diganti 60 cm, meninggikan atap-atap, mengganti seluruh lantai dengan granit, membangun aula kapasitas 1000 orang. Aula ini bisa multi fungsi utamanya untuk kegiatan anak berkreasi, berseni, dan berkarya bidang akademis maupun akademis. Aula dapat pula berfungsi sosial digunakan masyarakat untuk mantu, sudah dilengkapi dengan sound dan kursi cantik.
Sarana prasarana oke, tentu dapat merawat lebih banyak anak yang perlu dibantu, banyak anak kecil tanpa orang tua, korban berbagai kondisi, anak-anak kecil ini bisa ditemukan dimana-mana, kota maupun kampung ditemukan di sekitar hutan, karena sengaja dibuang oleh orang tuanya, adakalanya memang mereka sangat miskin,harus ditinggalkan orang tuanya begitu saja untuk mencari makan.
Saat ini masih tengah malam, kami terbangun dikejutkan oleh deru motor kadang keras dan melemah bahkan menghilang tak terdengar, katanya ya itu persis suara knalpot motor lek Yem. Motor yang sudah tak jelas lagi jenisnya, motor lawas keluaran puluhan tahun. Starter sering eror, sehingga harus berkali-kali dicoba, mesin berbunyi dan mati lagi.
“Ya..Tuhan…Nduk …suara motor itu ….persis motor lek, di masa perjuangan”, kukira lek Yem tidur lagi, ee,, ternyata cerita masih bersambung.
“Iya lek..terus?”, aku akan menjadi pendengar yang baik.
“Tentu deru motor itu sangat mengganggu orang yang seharusnya terlelap, tak ada yang berani menegur lek, pak RT pernah menyarankan melalui ibu-ibu PKK agar motor distarter agak menjauh, namun karena bu RT melihat sendiri barang bergelantungan, tak jadi tersampaikan. Ya lek mu mencoba mengikuti saran itu, lha kok malah Tuhan memberi rizki, lek Di ikut jalan santai di kantornya mendapat hadiah motor baru”.
Lek Yem menyebut suaminya menjadi tersenyum, mengingat-ingat saat bertemu jodoh. “Lek Di,itu sopir juragan Hanif, manis dan setia. Lha juragan Hanif itu adiknya dokter Ari, jaman dulu anak muda ndak berani secara terang-terangan menyampaikan jatuh cinta sendiri, harus pakai perantara, beda jauh anak sekarang langsung tembak saja”
“Ya iya to Lek, jaman kan sudah berganti”
“Meskipun demikian, jadi perempuan itu tetap mau menjaga etika, perempuan itu menunggu di rumah, bukan yang mendatangi laki-laki”.
Orang dulu bila mau menyatakan cinta harus menunggu lama bisa berbulan- bulan untuk mendapatkan jawaban dari perempuan yang ia cinta. Untuk mendapatkan lek Yem perlu perjuangan. Mulai dari Lek Di berkirim surat pertama dokter Ari melarang dibalas, surat kedua juga tidak boleh dibalas dan akhirnya surat ke lima boleh dibalas namun belum boleh memberi kepastian,padahal berbalik arah dengan kenyataan,lek Yem terlanjur jatuh cinta.
“Lek Di tentu cemas karena surat yang dibalas belum mendapat kepastian, lek Di tanpa pamit juragan Hanif ingin menemui lek ,tiba-tiba dalam perjalanan,ban mobil depan meletus dan ban serep juga kempes belum sempat ke tambal ban. Dompet tertinggal, ya berjalan kaki ke rumah dokter Ari, sampai ke rumah,ternyata dokter Ari mengatakan bahwa lekmu sibuk. Perjuangan itu ternyata disetting dokter Ari untuk cek kesabaran lek Di”,Lek Yem mengisahkan dengan tertawa.
Setelah dokter Ari memastikan lek Di itu baik,barulah memberi lampu hijau, tunggu apalagi tak pake lama, lek Yem pun segera dipinang dan dinikahkan di kampung. Acara pernikahan disaksikan handai taulan cukup meriah makanan prasmanan, merupakan hal baru kala itu. Semua ongkos acara itu dicukupi lek Di yang diberi hadiah naik pangkat menjadi karyawan tetap juragan Hanif. Tersaji di meja olahan daging, telur, ayam goreng, cha jamur es cream, es buah, dan buah semangka yang semuanya terlihat menggoda.
Seminggu kemudian diboyonglah lek Yem ke Surabaya, daerah Rungkut Asri Barat , kategori kawasan elit. Hampir setiap hari mendapat kiriman kiri kanan makanan, bakso ,ayam goreng, ikan bakar, roti. Kebahagiaan pasangan lek Yem lengkap dengan hadirnya si Rara dan Rezi seiring perkembangan pendapatan bisnis yang diatas memadai.
Juragan Hanif tak berketurunan,semua harta dipasrahkan lek Di berdua, suami pegang kendali kantor, sedang lek Yem restoran dan panti asuhan Lek Yem pun jadi kaya raya.Bersama Lek Di mengasuh anak-anak terlantar.Lek Yem sering menelpon emak.
“Yu…gimana kabarmu?”
“Alhamdulillah ..sehat, kapan pulang,Nduk”
“Insya Alloh minggu depan Yu”
Begitu dapat kabar lek Yem akan pulang kampung, wah emak seperti mau kedatangan menteri saja, serumah harus segera merapikan semuanya, dari depan sampai belakang, kamar mandi, kamar tidur juga dapur. Beberapa ayam kampung disiapkan menjamu adiknya, yang sebenarnya kesukaan lek Yem hanyalah sayur tempe lombok ijo, urapan kemudian cukup kuah sedikit opor ayam kampung kuning nan gurih. Lek Yem takut kolestrol sudah melebihi ambang batas.
Lek Yem mendidik anak-anak dengan baik, melarang tegas, sebelum berusia 17 tahun tidak boleh mengendarai motor. Aturan harus ditaati, makanya ia miris melihat anak-anak seusia SD, SMP berboncengan tiga malah-malah ABG menggelar balap liar, yang mengerikan karena seringnya terjadi kecelakaan.
Jika sudah menjadi ibu ya harus bisa mendidik minimal diri sendiri dan anak-anaknya, jangan menambah barisan anak jalanan, apalagi anak punk. Anak manusia meniru kehidupan hewan, tidak mandi, makan asal nemu, dan laki-perempuan. Lek Yem menitikkan air mata menceritakan anggota baru anak punk yang disuruh seniornya minum darah anjing, sehingga mengikuti saja semua hal yang dilakukan seniornya itu.
Lek Yem menyadari kehidupan itu keras, harus disiplin, harus menyukseskan keluarga sendiri dulu, melalui anak-anaknya. Mereka harus sekolah sampai sarjana, tak boleh seperti emaknya. Lek Yem senang, anak-anaknya mengikuti emaknya senang belajar, tak pernah mereka berdua mendapat banyak penawaran program beasiswa kuliah gratis, lulus pun dengan nilai cum laude, hingga tak perlu susah sibuk kesana-kemari mencari pekerjaan, untung hampir semua perusahaan yang dikirim lamaran, semua siap menerima.
Kehidupan susah Lek Yem tinggal kenangan, kedua anaknya pulang membawa kemenangan telah berkeluarga, si sulung telah menjadi pimpinan BUMN dengan dikaruniai anak-anak yang baik. Demikian halnya anak kedua telah menjadi dokter yang sukses. lek Yem kini di hari tua masih bisa tetap berbahagia,bersama anak-anak panti menghabiskan hari dengan aneka video pengajian serasa mondok pada para kyai, dan juga membaca cerita karya Putu Wijaya, A.S Laksana, atau Mustofa Bisri, Cak Nun, Yusuf Chudhori dan kyai-kyai yang bijak lainnya, semua itu dapat menjadi bahan dongeng anak panti.
Senyuman lek Yem terus tersungging, impian lek Yem dulu kini telah terbayar. Dulu hanya membayangkan semuanya indahnya memiliki anak-anak yang baik dan sukses seperti dokter Ari, semuanya telah dihadapannya. Adzan subuh berkumandang saatnya saya mohon pamit, lek Yem geleng-geleng kepala tanda tak boleh. Tiba-tiba kondisi lek Yem ngedrop, tentu panik aku berteriak minta tolong, tetangga pun berdatangan menyegerakan lek Yem dibawa ke rumah sakit.
Infus,oksigen dan peralatan lain segera dipasang, tim medis dengan cekatan menolong lek Yem, meskipun begitu, masih bisa tersenyum memanggilku, setengah berbisik, kutahu yang dimaksud.
“Nduk, lek titip ya”
“Siaaap,ku tersenyum membalasnya”,yang penting mengangguk dan segera kuraih senyum itu untuk kutuntun menyebut nama Tuhan.
“Inna lillaahi wainna ilaihi roojiun”
Jika Tuhan telah berkehendak, sebuah kematian tak kan bisa ditunda, tak bisa mundur atau maju, Ya Tuhan, mudah-mudahan kami yang masih hidup ini masih berkesempatan dengan kesadaran yang tinggi untuk selalu berbuat baik dan memberi manfaat bagi banyak orang, keluarga, bangsa dan Negara seperti lek Yem, guru kami. Selamat jalan lek Yem ,terima kasih perjuanganmu….
Dra. AMINI FARIDA, M.Pd.
Ponorogo, 15 Januari 1963
Kepala SMPN 10 Madiun
NIP. 196301151988032013